Selasa

Perjuangan Massa Untuk Revolusi Mesir


Ahmad Jayar, 28 tahun, warga asal Kairo, Mesir menunjukkan isi dompetnya yang tipis kepada orang-orang di sebelahnya yang tengah berkumpul di Tahrir Square, Kairo. Dari dompet penjaga toko pakaian di pasar Tonto, 120 kilometer dari Kairo, itu tampak beberapa lembar uang dengan jumlah cuma 50 EGP (pound Mesir) atau sekitar Rp 75 ribu.

Seperti yang dilansir oleh Tempo interaktif, Jayar menjelaskan, "Sebentar lagi uang ini habis, tapi saya tak takut," kata Jayar, Minggu malam lalu. "Solidaritas masyarakat terhadap gerakan ini tinggi. Walau uang saya habis, saya akan tetap tinggal di sini sampai Mubarak turun."

Jayar adalah salah satu dari ribuan orang yang datang dari berbagai penjuru kota ke pusat demonstrasi itu. Di Tahrir Square atau Alun-alun Merdeka yang terletak di depan Museum Nasional Mesir, yang menyimpan mumi Firaun, ada banyak orang muda seperti Jayar yang menginap berhari-hari hanya untuk menyampaikan satu tuntutan: rezim Husni Mubarak harus mundur.

Pemuda bercelana jins dan berjaket cokelat lengkap dengan syal ini sudah berada di alun-alun dengan keliling sekitar 2,5 kilometer itu sejak Selasa pekan lalu. Ia membawa seluruh tabungannya, 200 EGP (sekitar Rp 300 ribu), di dompetnya yang kumal itu.

Jika massa berdatangan pada siang dan kian menyemut pada petang hari, ia ikut berteriak dan mengacungkan tinju memprotes kekuasaan 31 tahun Presiden Mubarak yang otoriter dan kian sulitnya kehidupan di Mesir. Mereka menerjang jam malam yang diberlakukan pemerintah mulai pukul 4 sore hingga 7 pagi. "Saya tidak takut mati di sini, saya lebih takut mati kelaparan karena tak lagi mampu membeli roti," ucapnya.

Jika tengah malam datang dan demonstran menyurut, ia dan teman-temannya segera mencari sudut lapangan yang nyaman untuk berbaring. Ia tak peduli pada suhu 4-8 derajat Celcius yang menggigilkan tubuh itu. "Kami tidur seadanya, kadang di taman kota, depan pertokoan, atau halte-halte," tuturnya.

Bersama Jayar, Wail Syaban, dan Syauqi, bermalam di tempat bersejarah yang telah dua kali menjadi saksi pergantian rezim: revolusi pertama pada 1919 dan revolusi kedua yang menumbangkan kekuasaan monarki pada 1952. Wail Syaban, 35 tahun, datang dari Suez. Ia bekerja di sebuah perusahaan keramik. Sedangkan Syauqi, 39 tahun, seorang sopir.

Berbagai hal dilakukan kerumunan orang di lapangan yang berjarak sekitar 500 meter dari Sungai Nil itu. Ada yang mengobrol sampai pagi, ada yang menyalakan api unggun seadanya dengan membakar sampah yang dikumpulkan. Ada pula yang memilih merebahkan tubuhnya di atas rumput yang telah gundul karena terinjak saat demonstrasi dilancarkan.

Saat kami tengah asyik mengobrol dan berbagi rokok pada Senin dinihari itu, puluhan warga yang tinggal di sekeliling bundaran Tahrir berdatangan. Mereka membawa teh hangat dan kopi panas. Sambutan meriah pun seketika diberikan.

"Kadang ada yang membawa roti. Jika tak ada roti dan minuman, masih ada air yang mengalir dari keran-keran di seputar Tahrir yang tak pernah berhenti," ujar Jayar. "Itulah sumber tenaga kami."

Sumber tenaga yang lain, kata Syaban, "Adalah restu orang tua kami di kampung yang telah merelakan kami berunjuk rasa demi semua orang Mesir."

"Karena itu, kami tak akan beranjak dari sini kecuali setelah Mubarak turun," Syauqi menambahkan.

Percakapan itu pun berhenti saat azan subuh berkumandang. Tanpa dikomando, semua orang bangkit. Semua yang muslim serentak salat berjemaah.

0 komentar: